Di ujung meja, Pak Herman, direktur kami, sedang berbicara penuh semangat tentang target kuartal berikutnya. Grafis berwarna-warni terpantul di matanya, namun suaranya terdengar seperti dengungan jauh di telingaku. Aku lebih fokus pada teater kecil yang berlangsung di sekelilingnya. Aku melihat Rian yang duduk di seberangku, mengangguk dengan antusiasme yang begitu dipoles hingga terlihat palsu. Sesekali ia melontarkan pujian yang teroles madu, "Brilian, Pak! Sebuah terobosan!" Bibirnya melengkungkan senyum, tapi matanya kosong dan predatoris, sibuk menghitung setiap langkah demi tujuan pribadinya.
Aku teringat bagaimana minggu lalu ia "secara tidak sengaja" membiarkan Pak Herman mendengar bahwa ide kompetitor yang sukses sebenarnya berasal dari konsep awal Rian yang pernah ditolak. Pikiranku seketika melabeli, tanpa sensor, tanpa ampun. Satu kata muncul tanpa bisa kucegah: rendahan. Kata itu bergema, memantul di dinding benakku. Negatif. Sangat negatif. Seperti beberapa orang yang kukenal, yang rela menjilat, bahkan menawarkan lebih dari sekadar loyalitas-demi sebuah posisi, demi sebuah keinginan fana.
Mereka menukarkan sesuatu yang abadi, harga diri mereka, demi sesuatu yang sementara dan rapuh. Lalu, mataku tanpa sengaja menangkap pemandangan di luar jendela. Seorang pekerja konstruksi di seberang jalan sedang mengaduk semen di bawah sisa terik matahari. Keringat membasahi kaosnya yang lusuh. Aku membayangkan ia melakukan pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap "rendah" dan kasar itu, hanya agar bisa membawa pulang nasi, lauk, dan mungkin sebungkus susu untuk anak-anaknya.
Agar dapurnya tetap mengepul dan tawa keluarganya tetap terdengar di rumah kontrakan mereka yang sederhana.
Di ujung meja, Pak Herman, direktur kami, sedang berbicara penuh semangat tentang target kuartal berikutnya. Grafis berwarna-warni terpantul di matanya, namun suaranya terdengar seperti dengungan jauh di telingaku. Aku lebih fokus pada teater kecil yang berlangsung di sekelilingnya. Aku melihat Rian yang duduk di seberangku, mengangguk dengan antusiasme yang begitu dipoles hingga terlihat palsu. Sesekali ia melontarkan pujian yang teroles madu, "Brilian, Pak! Sebuah terobosan!" Bibirnya melengkungkan senyum, tapi matanya kosong dan predatoris, sibuk menghitung setiap langkah demi tujuan pribadinya.
Aku teringat bagaimana minggu lalu ia "secara tidak sengaja" membiarkan Pak Herman mendengar bahwa ide kompetitor yang sukses sebenarnya berasal dari konsep awal Rian yang pernah ditolak. Pikiranku seketika melabeli, tanpa sensor, tanpa ampun. Satu kata muncul tanpa bisa kucegah: rendahan. Kata itu bergema, memantul di dinding benakku. Negatif. Sangat negatif. Seperti beberapa orang yang kukenal, yang rela menjilat, bahkan menawarkan lebih dari sekadar loyalitas-demi sebuah posisi, demi sebuah keinginan fana.
Mereka menukarkan sesuatu yang abadi, harga diri mereka, demi sesuatu yang sementara dan rapuh. Lalu, mataku tanpa sengaja menangkap pemandangan di luar jendela. Seorang pekerja konstruksi di seberang jalan sedang mengaduk semen di bawah sisa terik matahari. Keringat membasahi kaosnya yang lusuh. Aku membayangkan ia melakukan pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap "rendah" dan kasar itu, hanya agar bisa membawa pulang nasi, lauk, dan mungkin sebungkus susu untuk anak-anaknya.
Agar dapurnya tetap mengepul dan tawa keluarganya tetap terdengar di rumah kontrakan mereka yang sederhana.