Si Paling Benar

Par : Eleazar Agung
Offrir maintenant
Ou planifier dans votre panier
Disponible dans votre compte client Decitre ou Furet du Nord dès validation de votre commande. Le format ePub est :
  • Compatible avec une lecture sur My Vivlio (smartphone, tablette, ordinateur)
  • Compatible avec une lecture sur liseuses Vivlio
  • Pour les liseuses autres que Vivlio, vous devez utiliser le logiciel Adobe Digital Edition. Non compatible avec la lecture sur les liseuses Kindle, Remarkable et Sony
Logo Vivlio, qui est-ce ?

Notre partenaire de plateforme de lecture numérique où vous retrouverez l'ensemble de vos ebooks gratuitement

Pour en savoir plus sur nos ebooks, consultez notre aide en ligne ici
C'est si simple ! Lisez votre ebook avec l'app Vivlio sur votre tablette, mobile ou ordinateur :
Google PlayApp Store
  • FormatePub
  • ISBN8231288069
  • EAN9798231288069
  • Date de parution22/08/2025
  • Protection num.pas de protection
  • Infos supplémentairesepub
  • ÉditeurWalzone Press

Résumé

Di ujung meja, Pak Herman, direktur kami, sedang berbicara penuh semangat tentang target kuartal berikutnya. Grafis berwarna-warni terpantul di matanya, namun suaranya terdengar seperti dengungan jauh di telingaku. Aku lebih fokus pada teater kecil yang berlangsung di sekelilingnya. Aku melihat Rian yang duduk di seberangku, mengangguk dengan antusiasme yang begitu dipoles hingga terlihat palsu. Sesekali ia melontarkan pujian yang teroles madu, "Brilian, Pak! Sebuah terobosan!" Bibirnya melengkungkan senyum, tapi matanya kosong dan predatoris, sibuk menghitung setiap langkah demi tujuan pribadinya.
Aku teringat bagaimana minggu lalu ia "secara tidak sengaja" membiarkan Pak Herman mendengar bahwa ide kompetitor yang sukses sebenarnya berasal dari konsep awal Rian yang pernah ditolak. Pikiranku seketika melabeli, tanpa sensor, tanpa ampun. Satu kata muncul tanpa bisa kucegah: rendahan. Kata itu bergema, memantul di dinding benakku. Negatif. Sangat negatif. Seperti beberapa orang yang kukenal, yang rela menjilat, bahkan menawarkan lebih dari sekadar loyalitas-demi sebuah posisi, demi sebuah keinginan fana.
Mereka menukarkan sesuatu yang abadi, harga diri mereka, demi sesuatu yang sementara dan rapuh. Lalu, mataku tanpa sengaja menangkap pemandangan di luar jendela. Seorang pekerja konstruksi di seberang jalan sedang mengaduk semen di bawah sisa terik matahari. Keringat membasahi kaosnya yang lusuh. Aku membayangkan ia melakukan pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap "rendah" dan kasar itu, hanya agar bisa membawa pulang nasi, lauk, dan mungkin sebungkus susu untuk anak-anaknya.
Agar dapurnya tetap mengepul dan tawa keluarganya tetap terdengar di rumah kontrakan mereka yang sederhana.
Di ujung meja, Pak Herman, direktur kami, sedang berbicara penuh semangat tentang target kuartal berikutnya. Grafis berwarna-warni terpantul di matanya, namun suaranya terdengar seperti dengungan jauh di telingaku. Aku lebih fokus pada teater kecil yang berlangsung di sekelilingnya. Aku melihat Rian yang duduk di seberangku, mengangguk dengan antusiasme yang begitu dipoles hingga terlihat palsu. Sesekali ia melontarkan pujian yang teroles madu, "Brilian, Pak! Sebuah terobosan!" Bibirnya melengkungkan senyum, tapi matanya kosong dan predatoris, sibuk menghitung setiap langkah demi tujuan pribadinya.
Aku teringat bagaimana minggu lalu ia "secara tidak sengaja" membiarkan Pak Herman mendengar bahwa ide kompetitor yang sukses sebenarnya berasal dari konsep awal Rian yang pernah ditolak. Pikiranku seketika melabeli, tanpa sensor, tanpa ampun. Satu kata muncul tanpa bisa kucegah: rendahan. Kata itu bergema, memantul di dinding benakku. Negatif. Sangat negatif. Seperti beberapa orang yang kukenal, yang rela menjilat, bahkan menawarkan lebih dari sekadar loyalitas-demi sebuah posisi, demi sebuah keinginan fana.
Mereka menukarkan sesuatu yang abadi, harga diri mereka, demi sesuatu yang sementara dan rapuh. Lalu, mataku tanpa sengaja menangkap pemandangan di luar jendela. Seorang pekerja konstruksi di seberang jalan sedang mengaduk semen di bawah sisa terik matahari. Keringat membasahi kaosnya yang lusuh. Aku membayangkan ia melakukan pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap "rendah" dan kasar itu, hanya agar bisa membawa pulang nasi, lauk, dan mungkin sebungkus susu untuk anak-anaknya.
Agar dapurnya tetap mengepul dan tawa keluarganya tetap terdengar di rumah kontrakan mereka yang sederhana.
Mendaki di Tengah Badai
Ean, Eleazar Agung
E-book
0,99 €
Garis Kedua
Eleazar Agung
E-book
1,49 €